KEBIJAKAN Ditjen Dikti akan kewajiban mahasiswa untuk menulis dan mempublikasikan karya ilmiah direspons beragam oleh mahasiswa. Mereka yang tidak gemar menulis akan merasakan dilema. Sementara mahasiswa yang geman menulis akan merasa bangga.

Tidak heran, kebijakan ini pun menjadi polemik yang sedang menghebohkan dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Sebenarnya dunia karya ilmiah dan tulis menulis tidaklah sesulit yang dibayangkan. Hanya saja, mahasiswa sering kali membuat sebuah anggapan dan penafsiran atau juga sugesti yang negatif akan sulitnya hal tersebut. Inilah yang menjadi poin penting akan kemunduran dunia ilmiah di ranah mahasiswa.

Peran serta kampus juga mempengaruhi akan tertarik atau tidaknya mahasiswa untuk melakukan sebuah karya yang dipublikasikan di media apa saja. Bagaimana tidak, jika pihak kampus tidak memberikan sebuah dorongan akan hal tersebut secara otomatis mahasiswa tidaklah mengalami gejolak minat yang teramat kuat. Mungkin hanya beberapa mahasiswa saja yang memang notabenya sudah gemar melakukan hal tersebut.

Pro kontra tentang hal ini menjadi sebuah PR besar bagi kalangan akademisi untuk merumuskan pentingnya menulis. Jika hanya dibiarkan, maka dampaknya akan terasa. Dengan artian, mahasiswalah yang mengalami kesulitan. Sebab, dunia tulis menulis dan karya ilmiah tidak bisa dilakukan secara instan dan dadakan. Semua butuh sebuah proses yang mendukung hal tersebut.

Jika dilihat dari segi baiknya, kebijakan ini mempunyai dampak positif bagi mahasiswa, supaya mereka gemar membuat sebuah karya. Kebijakan dari Ditjen Dikti ini menjadi sebuah dorongan secara tidak langsung untuk pengembangan skill mahasiswa secara jelas. Karena, mahasiswa memang bukan lagi seorang pelajar sekolah yang harus diberikan bimbingan berupa teori-teori. Mahasiswa sudah harus mempunyai kemampuan di bidang karya ilmiah yang memang seharusnya dimiliki oleh setiap mahasiswa. Kebijakan positif ini adalah upaya memajukan mahasiswa supay` mempunyai sebuah kenangan hasil karya yang bisa terus dikenang dengan bukti yang jelas.

Kebanyakan mahasiswa sekarang masih kurang meminati hal-hal yang demikian. Karena dunia mahasiswa telah terkontaminasi akan gemerlapnya kesenangan dan fasilitas yang serba instan, sehingga membuat efek malas untuk membuat sebuah karya pemikiran yang seharusnya dimiliki oleh setiap mahasiswa. Keadaan seperti inilah yang seharusnya dibenahi, mahasiswa harus mempunyai keseimbangan antara hiburan dan pemikiran. Jika tidak ada keseimbangan, maka tak akan menutup kemungkianan bahwa kebijakan Ditjen Dikti hanya akan menjadi sebuah wacana.

Memang berat jika kebijakan ini harus diterapkan pada seluruh mahasiswa. Tetapi ini merupakan langkah awal untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia supaya tidak sekadar formalitas; berkuliah untuk mendapat gelar sarjana saja. Mahasiswa juga harus memiliki kemampuan yang nyata dan terpublikasikan. Dan yang paling penting, bisa mengubah formalitas menjadi sebuah kualitas. Bentuk positif ini tak bisa jika tidak didukung dari semua elemen baik dari dosen, kampus, pemerintah, dan juga mahasiswa itu sendiri.

Bagus Anwar Hidayatulloh
Mahasiswa Ilmu Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta(//rfa)